Berkunjung ke Surau Tempat Buya Hamka Belajar “SURAU LUBUK BAUK”

Sabtu, 29 Januari 2022, berkesempatan bersama si Kecil “ARIQ” mengunjungi salah satu surau yang pernah BUYA HAMKA belajar ilmu agama dan inspirasi lahirnya novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk yang sangat terkenal itu. Surau tersebut hingga sekarang masih digunakan untuk belajar mengaji masyarakat di nagari.

Namanya SURAU NAGARI LUBUK BAUK, terletak di Nagari Lubuk Bauk, Kecamatan Batipuh Baruh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Surau ini didirikan pada 1896 dan selesai dibangun pada tahun 1901.

Bangunan

Berdenah bujur sangkar, surau ini terbuat dari kayu surian dengan luas 154 meter persegi dan tinggi 13 meter. Terdapat 30 tiang kayu penyangga berbentuk segi delapan yang menopang bangunan dan saling terhubung dengan sistem pasak. Lantai satu memiliki denah berukuran 13 x 13 meter. Letaknya ditinggikan sekitar 1,4 meter dari permukaan tanah, membentuk kolong. Kolong bangunan ditutup membentuk lengkungan-lengkungan yang pada bagian atasnya dihiasi ukiran berpola tanaman sulur-suluran.

Mihrab dibuat menjorok keluar berukuran 4 x 2,5 meter dinaungi atap gonjong, bentuk atap yang terdapat pada rumah gadang. Pada setiap sisi ruangan, terdapat jendela, kecuali pada mihrab.

Pintu masuk terletak di timur sejajar dengan mihrab. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan basmalah yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Pada sebelah kanan pintu, terdapat tangga yang mengubungkan ke lantai dua. Lantai ini berdenah 10 × 7,50 meter. Di tengah-tengah ruangan lantai dua, terdapat tiang dengan tangga melingkar untuk ke lantai tiga, yang memiliki denah lebih sempit berukuran 3,50 × 3,50 meter.

Berada di pinggir jalan raya Batusangkar—Padang, bangunan surau terletak lebih rendah sekitar 1 meter dari jalan raya. Dalam kompleks bangunan, terdapat tiga kolam atau disebut luhak dalam bahasa setempat yang dulunya difungsikan untuk wudu. Selain itu, terdapat bangunan mirip rangkiang yang digunakan untuk menaruh beduk.

Atap

Bentuk dan konstruksinya masih tetap dipertahankan sejak berdiri. Atap bangunan terbuat dari seng, bersusun tiga. Tingkat pertama dan kedua berbentuk limas dengan permukaan cekung, sedangkan tingkat ketiga berupa atap berdenah silang dengan gonjong di empat sisinya. Terdapat semacam baluster di antara atap lantai satu dan lantai dua.[6]

Pada bagian puncak, terdapat elemen berupa semacam gardu, berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela-jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Struktur ini berfungsi sebagai minaret, yang dapat dinaiki melalui tangga spiral di lantai dua. Atap mineret dibuat bersusun membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu dihiasi kelopak daun mirip padmanaba pada bangunan Hindu. Eksterior berupa ukiran Minang melekat pada dinding minaret berupa pola tumbuhan pakis yang didominasi warna merah, kuning, dan hijau.

Penggunaan

Di Minangkabau, masjid merupakan salah satu syarat berdirinya permukiman atau nagari. Setiap suku yang menghuni nagari biasanya memiliki surau. Oleh sebab itu, banyak masjid dan surau di Minangkabau yang letaknya berdampingan. Keberadaan surau umumnya dikhususkan sebagai pusat pendidikan non-formal. Pada abad ke-20, surau ini menjadi tempat awal berkembangnya organisasi Muhammadiyah di Lubuk Bauk.

Surau Lubuk Bauk berdiri berdampingan dengan Masjidil Ula. Saat ini, pemakaian surau terbatas untuk tempat belajar mengaji anak-anak atau tempat pertemuan bagi masyarakat setempat. Di ruang mengaji, terdapat sejumlah papan panjang (reha) yang ditata melingkar menghadap ke papan tulis yang digunakan untuk belajar mengaji.

Bagian dinding yang berbentuk segitiga dengan penutup gonjong di keempat sisinya, terdapat hiasan ukuran berupa motif hiasan dari Minangkabau, Belanda, dan China.
Di surau ini dulunya merupakan tempat cendekiawan Profesor Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menimba ilmu agama dan belajar Alquran. Bahkan di sini pulalah, Buya Hamka terinspirasi menulis novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk” yang terkenal. “Inspirasi penulisan novel ini sebenarnya kisah hidup buya Hamka saat belajar di surau ini, yang sempat dekat dengan seorang gadis sekitar. Namun nasib berkata lain, sang gadis menikah dengan seorang Datuk di Lubuk Bauak.

Dalam perkembangannya Surau Lubuk Bauk termasuk salah satu benda peninggalan sejarah. Kajian ini telah dilakukan pada tahun 1984 oleh proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Sumatra Barat. Bahkan juga sudah dilaksanakan pemugaran Surau Lubuk Bauk pada tahun anggaran 1992/1993. Surau ini ditetapkan sebagai cagar budaya di bawah pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Sumatera Barat. Surau ini menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Tanah Datar.

Dilantai 2 surau ini, saya menemukan foto dengan nama Syekh Harun Al-Rasyidi at-Tobohi al-Pariyamani (1885-1959). Dari namanya dapat diketahui bahwa Syekh ini berasal dari Toboh, Padang Pariaman, lalu kenapa foto ini berada di Surau ini? apakah beliau salah seorang guru disurau ini dan apakah beliau bertemu dengan Buya Hamka? jawabannya, saya cobo tulis ditulisan terpisah. Silahkan baca disini.

Surau Lubuk Bauk ini lokasinya persis ditepi jalan Padang Panjang – Batusangkar. Jika dari kota Padang Panjang hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai dilokasi ini.

#dirangkum dari berbagai sumber.

IAII Sumatera Barat


Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII) adalah organisasi profesi yang bertujuan meningkatkan kualitas teknologi informasi di Indonesia, melindungi masyarakat dari praktek buruk layanan ahli informatika, meningkatkan kemakmuran, martabat, kehormatan, dan peran ahli informatika Indonesia dalam rangka mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Profil IAII