IN MEMORIAM: Selamat Jalan Datuak Amin

IN MEMORIAM: Selamat Jalan Datuak Amin
Oleh Hasril Chaniago

Pada era tahun 1990-an, hampir tidak ada orang Sumatera Barat yang tidak pernah mendengar nama H. Aminuzal Amin Dt. Rayo Batuah, akrab disebut Datuk Amin. Kalau ada pesawat jet pribadi mendarat di Bandara Tabing, hampir dipastikan “pesawat khusus” itu membawa Datuk Amin.

Berpostur tinggi besar dan bertampang serius, tetapi isi perut tokoh ini kebanyakan adalah tawa. Bicara dengan mimik serius, banyak ucapannya yang membuat orang yang mendengarnya tertawa sampai terpingkal-pikal. Itu cerita teman-teman Datuk Amin.

Tapi kini tentu takkan ada lagi yang bisa mendengar cerita-cerita lawak dari Datuk Amin. Hari Jumat (10/9/2021) kemarin, sekitar pukul 10.25, H. Aminuzal Amin berpulang ke Rahmatullah di RS Medistra, Jakarta, dalam usia 83 tahun (lahir di Gudam, Pagaruyung, Tanah Datar, 23 April 1938). Dari rumah sakit jenazah Almarhum dibawa untuk disemayamkan di rumah duka Jalan Adityawarman No. 12 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kesehatan Datuk Amin memang sudah kurang baik sejak lebih sepuluh tahun belakangan, setelah mengalami stroke. Saya terakhir bertemu dengan beliau bulan Oktober 2009 di rumah Dinas Ketua DPD RI Irman Gusman, Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta, ketika acara syukuran atas terpilihnya lima putra terbaik Minangkabau dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) Presiden SBY. Mereka adalah H. Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri, Patrialis Akbar (Menkum HAM), Armida S. Alisjahbana (Menteri PPN/Ketua Bappenas), Tifatul Sembiting (Mentri Konfo), dan Linda Amalia Sari Agum Gumelar (Menteri Pemberdayaan Perempuan). Hadir dalam acara itu H. Taufiq Kiemas Dt. Batuah (Ketua MPR), serta sejumlah sesepuh Minang di Jakarta seperti H. Azwar Anas, Jenderal Pol. Prof. Dr. Awaloedin Djamin, dan H. Aminuzal Amin Dt. Rajo Batuah sendiri. Waktu itu kesehatan Datuk Amin sudah tampak mundur, berjalan memakai tongkat dan dimbimbing oleh pendampingnya.

Saya pertama mengenal Datuk Amin tahun 1989 di Gudam Balai Janggo, ketika “batagak gala” Datuk Rajo Batuah dan Dt. Gadang Batuah sebagai “panungkek” yang dipangku oleh kemenakan beliau, Kolonel Ikasuma Hamid, Bupati Tanah Datar waktu itu. Tapi baru sekadar kenal antara wartawan dan tokoh yang jadi sumber berita. Tak banyak yang bisa dipetik dari kisah hidup H. Aminuzal Amin Dt. Rajo Batuah sendiri, karena beliau memang cenderung tertutup untuk membicarakan kehidupan pribadi maupun usahanya.

Bulan September 1991 H. Aminuzal Amin Dt. Rajo Batuah mendapat darjah (gelar kehormatan) dari Kerajaan Negeri Sembilan, Malaysia, dengan gelar Datok Setia Negeri (DSN). Upacaranya digelar besar-besaran dan meriah di Istana Sri Menanti, Seremban. Ada dua pesawat Fokker 100 Sempati Air yang dicarter untuk membawa tamu-tamu dari Jakarta. Di antaranya ada Menteri KLH Prof. Emil Salim, Menteri Perhubungan Ir. Azwar Anas, mantan Gubernur Sumbar dan nantan Menteri Tenaga Kerja Prof. Harun Zain, serta Gubernur Sumatera Barat Hasan Basri Durin. Juga ada pengusaha nasional asal Minang Fahmi Idris, H. Is Anwar, Dirut Sempati Air Hasan Sujono, pemusik Ireng Maulana, penyanyi Andi Merriam Mattalata, dan banyak lagi. Saya pun termasuk undangan “kere” dari Sumatera Barat, antara lain bersama wartawan senior H. Martias Dt. Pandoe, H. Nasrul Siddik, dan Pemimpin Redaksi Haluan (ketika itu) H. Annas Lubuk. Saya mewakili Pemimpin Redaksi Singgalang H. Basril Djabar yang berhalangan. Dua lantai Regent Hotel berbintang lima di Bukit Bintang, Kuala Lumpur, dibooking untuk lebih 200 orang tamu undangan. Lima belas sedan limusin dan dua bus besar mewah digunakan untuk mengangkut seluruh rombongan dari Kuala Lumpur menuju Seremban.

Keesokan hari, selesai upacara pemberian darjah dari Raja Negeri Sembilan, Tuanku Djaafar bin Tuanku Abdurahman, saya pamit kembali ke Padang kepada Kolonel Ikasuma Hamid Dt. Gadang Batuah, keponakan Datuk Amin. “Eh, jangan langsung pulang. Pamit dulu kepada Datuk Rajo Batuah,” kata Pak Ika kepada saya.

Rasanya seperti mimpi di siang bolong, bisa diterima secara pribadi oleh Datuk Amin di kamar president suit dua lantai Regent Hotel yang mewah. Diantar Pak Ika, saya diterima Datuk Amin selama sekitar satu jam. Kebetulan waktu itu saya juga jadi penulis (redaktur tamu) di Majalah Ekonomi Prospek, Jakarta, dan sedang ada tugas mewawancarai Datuk Amin mengenai perusahaan yang beliau pimpinan, PT Permindo Oil Trading, salah satu eksportir minyak terbesar di Indonesia masa itu.
Ketika itu Majalah Prospek mempunyai rubrik khusus “Profil 200 Konglomerat Indonesia”. Rupanya PT Permindo Oil Trading di mana Dt. Amin menjadi salah satu pemegang saham dan menjabat Direktur Eksekutif, termasuk 200 perusahaan konglomerat terbesar di Indonesia. Semula saya akan menolak tugas wawancara itu mengingat tidak mudah menemui dan mewawancarai tokoh ini. Berkali-kali bertemu beliau di Padang, bahkan pernah hadir menjadi tamu khusus di Harian Singgalang, beliau selalu mengelak bila diminta kisah hidup dan usahanya. “Sebut sajalah pengusaha, itu sudah cukup,” begitu selalu jawabannya.

Tapi kali ini beliau tidak bisa lagi menolak. Sebab, saya sudah dibekali data lengkap dari Majalah Prospek, dan sebenarnya tinggal konfirmasi saja. “Kalau Pak Datuk tidak mau saya wawancara, toh akan tetap saja ditulis oleh Majalah Prospek, karena mereka sebenarnya sudah punya data lengkap,” kata saya.

“Data apa yang Hasril sudah ada?” tanya Datuk Amin seperti menguji saya. Kebetulan saya membawa data itu. Saya sebutkan bahwa PT Permindo Oil Trading adalah perusahaan patungan PT Mindo milik H. Aminuzal Amin dengan Pertamina. Pemegang sahamnya adalah Pertamina, Bambang Trihatmodjo, Aminuzal Amin, Aburizal Bakrie, dan Nirwan Bakrie. Lengkap saya sebutkan persentase masing-masing.
“Ya, kalau sudah tahu, dan yakin datanya benar, tulis sajalah seperti itu,” kata Datuk Amin tersenyum.
Lalu saya bukakan satu cerita lagi, bahwa PT Permindo Oil Trading dituduh oleh anggota DPR-RI Tadjoeddin Noorsaid melakukan monopoli perdagangan non-kuota minyak mentah milik Pertamina. Lengkap saya sebutkan kuota PT Permindo sesuai data yang dikirim Prospek kepada saya.

Akhirnya Datuk Amin “terpaksa” cerita buka-bukaan kepada saya. Termasuk menjelaskan angka-angka yang sebenarnya berapa jatah PT Permindo Oil Trading dalam memperdagangkan minyak mentah Pertamina. “Jangan kutip nama saya di situ, tapi angka anggota DPR itu perlu dikoreksi,” kata beliau. Setelah itu, barulah terbuka cerita lain, termasuk kehidupan pribadi dan keluarga beliau. Saya pikir waktu itu, sayalah wartawan pertama yang mendapat cerita riwayat hidup beliau relatif lengkap.
*
Aminuzal Amin dilahirkan di Pagaruyung, 23 April 1938. Ia menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampung halamannya. Setelah menamatkan SD dan SMP di Batusangkar, ia melanjutkan ke SMA Birugo (kini SMA Negeri 2) Bukittinggi hingga tamat tahun 1956.

Berbekal tekad dan semangat yang keras, ia merantau ke Jakarta. Mulanya ingin masuk Akademi Bea Cukai atau Akademi Imigrasi. Keduanya ditolak, akhirnya masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tanpa bekal dan kiriman uang dari orang tua, ia berjuang hidup sendiri. “Mulanya numpang dengan keluarga jauh, kemudian “hendekos” di Salemba supaya dekat tempat kuliah,” katanya.
Apa itu “hendekos”, bukannya indekos? “Hendekos artinya hemat dengan ongkos,” katanya tersenyum.
Sembari kuliah, ia menjadi sopir oplet di sekitar Salemba dan Kramat. “Malu ketemu teman sama kuliah, saya terpaksa menyamarkan wajah dengan menutupkan topi lebih rendah. Eh, akhirnya ketahuan juga,” katanya.

Ketika terjadi Pergolakan PRRI, Aminuzal muda disuruh ibunya pulang kampung. Waktu itu hampir seluruh orang Minang mendukung PRRI. Usai PRRI tahun 1961 ia balik ke Jakarta, hendak meneruskan kuliah. Tahunya, kampus waktu itu sudah dikuasai mahasiswa CGMI yang terafiliasi dengan PKI. PKI jelas sangat memusuhi orang-orang bekas PRRI. Makanya ia sudah merasa tidak nyaman, lalu meninggalkan kuliahnya.

Beberapa lama terkatung-katung di Jakarta, Aminuzal ketemu dengan Hasyim Ning, pengusaha asal Minang yang dijuluki Raja Mobil Indonesia. Ia ditawari kerja di PT Tjahja Sakti, salah satu perusahaan Hasyim Ning yang mengageni mobil merek Morris asal Inggris. Tak lama bekerja di dealer Morris, terjadi Ganyang Malaysia, dan Morris menyetop ekspor mobil ke Indonesia.

Berhenti jadi karyawan, bakat dagang Aminuzal terpicu keadaan. Mulai tahun 1966 ia sering bepergian ke Singapura, Australia, atau Jepang. Di sana ia membeli mobil-mobil bekas yang harganya murah dan memasukkan ke Indonesia. Tapi tahun 1971 modalnya habis, karena ada mobil pesanannya yang ditangkap Bea Cukai. Tapi tak sampai setahun ia terkompal-kampil, begitu istilahnya, ia dapat lahan usaha lain. Kali ini jalannya lebih jauh, ke Eropa. Tujuannya membeli pakaian-pakaian bermerek dan mengisi butik-butik mewah yang sedang marak di Jakarta. Selain pakaian, ia juga berjualan jam Rolex dari Swiss.

Dalam pada itu, ia berkenalan dengan Mohede, Sekretaris Menteri Pertanian, dan bekerjasama menjalankan bisnis pupuk. Berpengalaman berjualan pupuk, ia kemudian mendirikan PT Sumber Lancar tahun 1975, dan menjalankan bisnis sendiri. Hubungannya dengan Mohede tidak putus, karena kemudian menjadi mertuanya. Aminuzal menikah dengan Tatan Mohede, gadis blasteran Ambon – Manado, putri Mohede.

Tahun 1979 Aminuzal bertemu kawan lamanya, Sudwikatmono, yang sudah menjadi pengusaha besar. Mereka pun mendirikan perusahaan perdagangan minyak bernama PT Terabo Oil yang kemudian berganti nama menjadi PT Mindo. PT Mindo inilah yang mulai tahun 1984 mendirikan perusahaan patungan dengan Pertamina dengan nama PT Permindo Oil Trading. Pemegang saham termasuk putra Presiden Soeharto, Bambang Triharmodjo. Jadi, kalau tahun 1990-an itu banyak orang bertanya, apakah benar Datuk Amin dekat dengan keluarga Cendana? Jawabannya sudah jelas. Dia punya perusahaan bersama dengan anak Pak Harto. Di PT Permindo Datuk Amin menjabat Direktur Eksekutif alias yang menjalankan sehari-hari perusahaan yang kemudian masuk 200 perusahaan terbesar di Indonesia. Kartu nama di perusahaan itu beliau berikan kepada saya ketika diterima di Regent Hotel Kualalumpur tahun 1991 itu.

Dengan posisinya sebagai petinggi perusahaan konglomerat besar, tak heran setiap pulang ke Sumatera Barat Datuk Amin selalu memakai pesawat khusus alias jet pribadi. Dalam memenuhi panggilan Gubernur Sumbar ikut membangun ekonomi Sumatera Barat, pada tahun 1992 Datuk Amin menggalang pengusaha besar asal Minang lainnya mendirikan PT Nagari Development Corporation (NDC). Di antara pemegang saham PT NDC, selain Aminuzal Amin adalah Abdul Latif, Fahmi Idris, Is Anwar, Basrizal Koto, dan Zairin Kasim. Di antara peran NDC waktu itu menyuntik 40 persen modal Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumbar (kini Bank Nagari) ketika bank milik pemda ini perlu suntikan modal. Setelah Bank Nagari kuat, tahun 1997 PT NDC menarik modalnya kembali.
Selain memimpin PT Permindo Oil Trading, pada masa jayanya tahun 1990-an, Datuk Amin juga mempunyai usaha bersama Grup Bakrie. Antara lain, beliau pernah menjabat Komisaris PT Bank Nusa, milik Grup Bakrie. Tentu ada bisnis yang lain lagi.

Demikianlah, setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Sebagai putra Minang, H. Aminuzal Amin Dt. Rajo Batuah telah memainkan perannya yang penting pada masanya. Setelah Reformasi 1998, beliau mulai menarik diri dari dunia bisnis. Tapi bagaimana pun, Datuk ini sudah menapakkan jejaknya sebagai satu anak Minang yang sukses dalam berusaha.

Seiring usia, sejak sepuluh tahun lalu, kesehatan beliau makin menurun. Akhirnya, perjalanan sampai ke batas. Hari Jumat kemarin, Datuk Amin menghembuskan nafas yang terakhir, berpulang ke Rahmatullah, dalam usia 83 tahun. Selamat jalan Datuk Amin.*

IAII Sumatera Barat


Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII) adalah organisasi profesi yang bertujuan meningkatkan kualitas teknologi informasi di Indonesia, melindungi masyarakat dari praktek buruk layanan ahli informatika, meningkatkan kemakmuran, martabat, kehormatan, dan peran ahli informatika Indonesia dalam rangka mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Profil IAII