Batu Bulek: Batu Yang Terkikis Waktu

Kemunculan sebuah nama tempat adakalanya dilatarbelakangi oleh suatu riwayat yang pernah terjadi pada rentang waktu tertentu. Ada rentetan cerita yang serta merta membuat nama tersebut muncul ke permukaan. Tidak semata kisah, pun disertai tinggalan-tinggalan yang semakin muskil untuk melengahkan begitu saja setiap uraian peristiwa yang tersampaikan turun-temurun.

Udara sejuk khas perbukitan langsung merayapi tubuh saya ketika memasuki jorong Kawai, nagari Batu Bulek, kecamatan Lintau Buo Utara. Sawah terhampar luas seakan tiada memiliki batas dalam pandangan mata. Selepas melewati sebuah pendakian berkelok, mulai terlihat sebuah kubah dengan puncak menjulang. Bersisian dengan masjid itu terhampar sebidang tanah lapang yang juga menjadi halaman puskesmas desa. Sekilas, tak ada yang janggal dengan tempat itu. Bahkan sore ketika saya berkunjung, halaman itu dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain dalam suasana sarat keriangan.

Namun, sekiranya sekitaran tempat itu ditilik lebih saksama, maka pandangan akan tertuju pada sebuah batu besar yang tegak di sudut halaman. Batu itu sebentuk bulat dengan diameter berkisar satu setengah meter. Pada tapaknya, batu-batu sekepalan tangan mengeliling, menjadi penyokong untuk menjaga kedudukan batu besar itu agar tidak timpang. Sedang empat buah batu pipih berukuran lebih dua meter dipasang membujur, memagari batu yang disebut masyarakat sekitar sebagai “Batu Bulek” itu.

Di sudut halaman, batu itu seakan ikut tersudut dari perhatian zaman. Sementara sejatinya batu itu pernah menjadi “mata diam” yang senantiasa menyaksikkan sekumpulan perjalanan masa lalu yang kelak melatarbelakangi pelbagai nama bagi wilayah sekitar.

Berikut kisah perihal keberadaan Batu Bulek dari wawancara saya dengan beberapa tetua setempat:

Lampau, pengembangan wilayah nagari dikenal dengan dua proses. Pertama, batunjam mandaki, luluak dalam mudiak. Adalah Datuak Rajo Suaro kala itu berkedudukan sebagai raja nagari. Lantas, setelah merasa perlu melakukan pembentukan wilayah baru—gunuang hilia, bendang mudiak—maka dijelajahnya oleh Datuak Rajo Suaro sebuah daerah yang kini dikenal dengan Batu Bulek. Sedang di daerah batunjam,Andaleh Baruh Bukik, dicarikan pemimpin pengganti yaitu Datuak Intan Ganti.

Jelas, sebuah wilayah mesti memiliki sumber air sebagai penopang utama kehidupan. Maka diperintahkanlah oleh Datuak Rajo Suaro beberapa orang untuk mencari hulu sumber air. Perjalanan panjang dilalui orang-orang itu, bahkan sebuah puncak telah mereka daki. Apa dinyana, setiba di atas, rasa lapar menggerayangi lambung mereka. Beras ada dibawa, akan tetapi di mana mau bertanak. Mereka pun berinisiatif untuk menebang betung dan memasak beras dalam buluh bambu. Kemudian salah seorang turun untuk mengambil air barang selekuk.Maka dijemputlah air dari luhak dengan menyandang batang bambu dengan panjang kira-kira tiga setengah ruas yang dikenal dengan sebutan parian. Selepas kemudian, seorang yang meraup air tadi mendaki kembali ke atas. Lalu dicurahkanlah air dari parian ke periuk buluh yang berisi beras untuk kemudian dimasak. Karena pada saat mengalirkan alir air itulayaknya aliran sungai, maka dinamakanlah daerah itu dengan Puncak Sungai Buluah,dalam selingkung daerah Puncak Pato.

Dalam perjalanan kemudian, tatkala menempuh hulu Batang Tampo, utusan tersebut terkejut kala menemukan setumpuk batu. Batu dalam bentuk aneh. Ada yang bulat dan ada pula yang pipih. Batu bulat berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh empat buah batu pipih. Maka berlarilah mereka bersama menyampaikan penemuan itu kepada Datuak Rajo Suaro. Raja nagari itu pun tertarik meninjau batu itu. Dan manakala menyaksikkannya langsung, bukan alang kepalang gembiranya hati Datuak Rajo Suaro melihatnya. Tampak sang raja begitu menyukai batu itu. Dan kelak, daerah penemuan batu tersebut dinamakai Suko Rajo.

Atas dasar itulah Datuak Rajo Suaro menitahkan untuk membawa batu-batu itu. Namun perjalanan yang sulit ditambah dengan bawaan yang besar lagi berat membuat orang-orang itu keletihan. Pun batu itu hanyalah dapat terangkut hingga sebuah daerah, dan di sanalah batu-batu sementara dionggok-yang dalam bahasa setempat disebut diungguak. Konon, nama tempat itu kini termasyhur dengan sebutan Mungguak, daerah sekitaran Alur Tengah.

Dalam sebuah kesepakatan, maka batu-batu itu akan diletakkan di ujung balai-balai pada sebuah daerah yang kemudian dikenal dengan nama Kawai. Sayangnya, sebagian kecil orang-orang di daerah bagian ke bawah Kawai tidak senang akan hal tersebut. Mereka nyata menginginkan batu itu berada dalam wilayah mereka.

Maka, tanpa tedeng aling lagi orang-orang di daerah itu berencana akan membawa diam-diam batu itu pada malam harinya. Gerak-gerik mereka berhasil luput tanpa diketahui siapapun. Namun, dalam setengah perjalanan menuju hilir, tepatnya di dekat sebuah kolam besar, yang kemudian nama daerah itu disebut Tabek nan Godang, batu itu sekonyong-konyong tidak dapat bergerak dan tak mampu lagi digolekkan.

Setibanya pagi hari, kejadian itu pun diketahui oleh masyarakat. Maka keluarlah nada ancaman:“Cubolah awai dek kalian!”(Coba saja kalau berani kalian sentuh!). Konon, dari situlah asal mula daerah itu dinamakan Kawai. Dan, batu itu pun kembali dibawa ke balai-balai adat, tempat semula diletakkan. Dan, ajaibnya batu itu mampu digolekkan kembali.

Menyimak cerita di atas, tak lepas kita serasa diceritakan sebuah fiksi fantasi yang sarat akan bunga-bunga khayali semata. Akan tetapi, dalam pada itu,betapa sulit untuk menampik kehidupan pada masa lampau yang hadir dalamkeeratan dan ketidaklepasan dari keyakinan-keyakinan yang bersifat absurd (jika ditinjau dari masa kekinian dengan mengatasnamakan kacamata ilmiah). Bahkan setiap langkah manusia senantiasa diikuti bayang-bayang berwujud irasionalitas. Entah itu berupa pantangan, wejayangan leluhur, ataupunhal-hal yang erat kaitan dengan “wujud yang lain”. Namun tak dapat dinafikan, peradaban saat ini tak akan terjadi tanpa melalui serangkaian masa-masa primitif dengan segala kompleksitas akal-pikirannya.

Jeffrey Hadler dalam bukuSengketa Tiada Putus (Matriakat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme Minangkabau) yang merupakan terjemahan disertasi doktoralnya di Universitas Cornell pada tahun 2000, memaparkan: “Dunia adalah topologi objek-objek supranatural dan tempat-tempat magis. Sebuah pohon besar, kolam-kolam tertentu, rawa-rawa, sebuah batu, suatu kubur-punya kuasa dan bisa menyakiti orang yang tidak waspada. Setiap nagari berisi sejumlah tempat keramat. Sebelum menanam padi penduduk kampung mengunjungi kuburan-kuburan untuk berdoa.”

Cerita-cerita masa lalu pun kerap menyandingkan sebuah sebutan bagi latar cerita dengan kejadian tak biasayang pernah terjadi pada ruang tersebut. Dengan semata penyampaian-meski dalam budaya sastra tutur yang membuatnya mampu bernapas sekian lama dalam tiap generasi-tanpa disertai suatu pembuktian, utamanya dalam bentuk peninggalan, maka cerita-cerita tersebut tak ubahnyakayutiadaberbuah. Tumbuh, bahkan berurat-berakar, akan tetapi tak ada sesuatu apapun yang dapat dinikmati, pengobat bagi haus dan lapar.Tanpa wujud yang hadir sebagai titian dalam memahami atau bahkan mendalami “roh” dari setiap tinggalan tersebut, maka tidak akantersentuh nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, pun di baliknya.

Menjadi kesangsianpula bagi Helmidjas Hendra yang tercurah di dalam bukunya“Mitos-mitos Minangkabau, Pembodohan Generasi Sepanjang Masa”: “Mengapa ada tempat yang ditandai dengan durian ditakuak rajo dan kemudian pembaca tambo diarahkan untuk mempercayai bahwa tempatnya adalah di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi sekarang. Tidak jelas bagaimana rumusnya,sebatang pohon durian yang mungkin ditandai dengan kampak atau golok oleh Raja (Datuak Katumanggungan) bisa menjadi batas wilayah Minangkabau ke arah selatan. Seolah-olah hanya sebatang saja pohon durian yang tumbuh di sekitar lokasi.”

Begitulah, sebuah tinggalan akan hadir dengan cerita di baliknya. Namun sebuah cerita dapat begitu saja lahir dan tumbuhtanpa adanya tinggalan.

Menjaga Tinggalan, Merawat Ingatan

Batu Bulek adalah representasi masih ada warisan budaya benda yang belum sepenuhnya terperhatikan. Padahal, melestarikan eksistensi budaya dan wilayah sejatinya merupakan bentuk penunaian Undang-undang Dasar 1945 dalam melindungi bangsa dan tumpah darah.

Seiring perjalanan waktu, telah terjadi beberapa kali pemindahan lokasi perletakanBatu Bulek. Tatkala balai-balai adat pindah sekitar 200 meter, tepatnya ke daerah Galuang, Batu Bulek pun turut dipindahkan di halaman balai-balai adat yang baru itu;bersebab para pemuka setempat masih dilingkupi perasaan bahwa keberadaan BatuBulek bersangkutan dengan sejarah adat. Maka pindahnya balai-balai adat artinya beranjak pula kedudukan Batu Bulek pada tempat yang sama.

Waktu terus berputar. Sampai pada akhirnya balai-balai adat tidak lagi ada.Sebuah rangkiang Si Bayau-bayau dan juga tambuayang berdiri di sekitar Batu Bulek itu pun semakin duyung hingga berakhir rubuh diterpa waktu. Namun demikian,batu itu masih tetap berdiri meski dalam rimbun belukar dan kondisi yang memiriskan.

Hingga pada beberapa tahun yang lalu, masyarakat bergotong-royong “mengembalikan” letak Batu Bulek kembali pada asalnya, yaitu pada halaman puskesmas desa sekarang yang di sana pula letak balai-balai adat dahulunya. Salah satu alasan dilakukannya pemindahan kembali adalah sulitnya akses dari tepi jalan besar jika masihtetap diletakkan di daerah Galuang. Mengingat sekiranyaada pengunjung datang dan hendak melihat, maka tidak perlu lagi menempuh jalan setapak menuju ke dalam yang jika hujan datang akan membuat jalan menjadi bencah dan akan membuat pengunjung merasa tidak nyaman. Dan lagi jika diletakkan di perlintasan orang berlalu-lalang, sedikit banyaknya batu tersebut akan dapat terperhatikan. Setidaknya rumput agak sebatang yang tumbuh di sekitaran tentu akan dapat dicabut oleh masyarakat sekitar.

Dalam kondisi inilah, kita seperti disuguhi lakon tangan-tangan lemahyang masih ingin tetap mempertahankan tubuh yang mereka punya. Meski dengan upaya seadanya, masyarakat sekitar tegaknya Batu Bulek telah berusaha senantiasa menjaga dan memelihara sebuah warisan budaya benda yang sejatinya sarat akan nilai-nilai luhur.

Adalah sebuah keniscayaan untuk senantiasa melindungi (sikap preservasi) sebuah warisan. Bahkan jika dikaji lebih luas, mengembangkan dan memanfaatkan (bentuk revitalisasi) adalah bagian selanjutnya yang dapat dilakukan. Untuk itu, perlu adanya sinergi antara pelbagai pihak dalam upaya mewujudkan semua yang tercantum di atas kertas agar tidak hanya menjadi sebuah utopisme belaka.

Batu Bulek adalah menjadi bagian dari jorong Kawai pada khususnya, serta nagari Batu Bulek (sesuai dengan namanya) dan kecamatan Lintau Buo Utara pada umumnya-bahkan Kabupaten Tanah Datar dan Sumatera Barat dalam ruang lingkup yang lebih besar. Sudah selayaknya tangan-tangan lemah tidak dibiarkan rapuh untuk tetap menopang batu besar itu.Perlu adanya tangan-tangan lain yang bahkan lebih kuat untuk turut serta menyangga agar batu itu tetap tegak dalam keindahan dan kemaknaan bagi setiap cerita yang membalutinya.

Di akhir tulisan ini, saya teringat sebuah kisah filosofis tentang batu. Sekeras apapun wujud batu, setegar apapun ia tampak berdiri, namun dengan tetesan demi tetesan air yang menitiki tubuhnya, maka lama-kelamaan air yang lembut itu akan mampu mengikis bahkan melubangi benda padat itu.

Jika dianalogikan kepada Batu Bulek, boleh jadi fisik Batu Bulek lama-kelamaan akan terkikis secara alamiah, terlebih dengan tidak adanya pemeliharaan dan perawatan yang memadai dalam menjaga keaslian bentuk yang kasat mata.Akan tetapi ada pengikisan yang lebih mengkhawatirkan. Pengikisan yang lebih dari sekadar pengikisan secara wujud. Adalah pengikisan nilai-nilai; pengikisan pembelajaran filosofis-historisitas yang dapat diraup meski hanya dari sebuah batu sebentuk bulat dan cerita-cerita yang melingkupinya.

Batu Bulek layaknya jejak atas tiap-tiap langkahan masa lalu masyarakat sekitarnya. Batu Bulek hadir dalam bentuk eksotis secara kasat mata dan sarat akan naungan kontemplatif dalam cerita-cerita di belakangnya.Batu Bulek, semoga tidak tersia-sia… (Dafriansyah Putra, BPCB Batusangkar).

Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

IAII Sumatera Barat


Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII) adalah organisasi profesi yang bertujuan meningkatkan kualitas teknologi informasi di Indonesia, melindungi masyarakat dari praktek buruk layanan ahli informatika, meningkatkan kemakmuran, martabat, kehormatan, dan peran ahli informatika Indonesia dalam rangka mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Profil IAII