
Minggu pagi, 10 Agustus 2025, udara Kota Padang masih sejuk. Matahari baru saja merayap di balik cakrawala, menciptakan semburat oranye di langit. Saya dan keluarga sudah bersiap menuju Car Free Day, niatnya sederhana: berolahraga sambil menikmati hiruk pikuk pagi di pusat kota.
Namun, setibanya di lokasi, kabar mengejutkan datang. Hari itu Car Free Day ditiadakan. Saya terdiam, begitu pula istri. Dari kursi belakang mobil, sang jagoan kecil memecah kebekuan.
“Bagaimana kalau kita ke gunung Padang, Pa?” katanya sambil memandang saya penuh semangat.
Saya melirik istri. Karena Gunung Padang memang bukan tanjakan yang bisa disepelekan. “Yakin?” tanya saya. Ia hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk.
Petualangan pun dimulai.
Pemberhentian Pertama: Masjid Al-Hakim
Kami memarkir mobil di sekitar Masjid Al-Hakim. Bangunan megah ini berdiri di tepi Pantai Padang, seolah menjadi gerbang emas menuju lautan. Kubahnya berwarna keemasan, memantulkan cahaya pagi, sementara menaranya menjulang anggun ke langit biru. Arsitektur modern berpadu nuansa islami membuat masjid ini tak hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga penanda kemegahan kota. Dari pelatarannya, aroma asin laut menyapa, bercampur dengan hembusan angin pantai yang segar.
Menyeberangi Jembatan Sitti Nurbaya
Langkah kaki membawa kami ke Jembatan Sitti Nurbaya, sebuah bentang megah yang menghubungkan cerita masa lalu dengan kehidupan kini. Dari atasnya, saya melihat Batang Arau berkilau diterpa sinar matahari. Kapal-kapal nelayan, dari yang kecil hingga kapal pesiar, berlabuh tenang di dermaga. Di sekitarnya, bangunan-bangunan tua bergaya kolonial masih berdiri kokoh, seakan menolak kalah oleh waktu.
Tak jauh dari jembatan, kami menjumpai Kapal Samsul Bahri—monumen visual yang diciptakan pemerintah untuk menghidupkan kembali kisah cinta tragis karya Marah Rusli. Kapal itu seperti diam di tengah cerita, menunggu siapa saja yang mau mengingat kembali cinta yang tak pernah sampai.
Memasuki Kaki Gunung Padang: Napak Tilas Perang Dunia II
Di kaki Gunung Padang, kami membeli tiket masuk. Jalur setapak segera mempertemukan kami dengan peninggalan masa pendudukan Jepang: Bunker 1, Bunker 2, dan Bunker 3. Di dalamnya, meriam panjang masih terpasang, membisu namun menyimpan gema masa lalu.
Gunung ini dulunya adalah benteng strategis pada masa Perang Dunia II. Dari ketinggiannya, tentara Jepang bisa mengawasi perairan barat Sumatera, mengantisipasi ancaman dari laut lepas. Kini, bunker dan terowongannya menjadi bagian dari sejarah yang bisa disentuh oleh para pendaki.
370 Anak Tangga Menuju Legenda
“Masih kuat, Pa?” canda istri saat kami mulai menapaki tangga batu. Konon, ada 370 anak tangga hingga ke puncak, dengan ketinggian 80 meter di atas permukaan laut.
Di tengah perjalanan, setelah melewati sebuah BOW pertahanan, kami menemukan celah sempit di tebing batu. Di sinilah Makam Sitti Nurbaya berada. Meski ia adalah tokoh fiksi, makam ini menjadi simbol yang membuat legenda Marah Rusli hidup hingga kini. Saya berdiri sejenak di depannya, membayangkan Sitti Nurbaya yang harus menyerah pada takdir, dan cinta yang tak pernah bersatu.
Puncak Gunung Padang: Kota di Telapak Tangan
Akhirnya, puncak Gunung Padang menyambut kami. Udara sejuk membelai wajah, pepohonan rimbun memberi keteduhan, dan di bawah sana Kota Padang terbentang luas. Batang Arau terlihat berliku, dihiasi kapal-kapal yang berlabuh. Laut biru di kejauhan memeluk horizon, seakan tak berujung.
Perjalanan ini ternyata lebih dari sekadar olahraga atau jalan-jalan. Ia adalah perpaduan sejarah, legenda, dan kebersamaan keluarga. Dari Car Free Day yang batal, kami justru menemukan hari penuh cerita—kisah tentang langkah kaki yang menapaki sejarah, hati yang mengenang legenda, dan kebahagiaan sederhana yang abadi di puncak Gunung Padang.