
Padang, 28 Mei 2025 — Pagi masih muda ketika saya melintasi jalanan di salah satu sudut Kota Padang, tepatnya di Kelurahan Koto Lalang, Kecamatan Lubuk Kilangan. Matahari perlahan naik dari balik bukit, sinarnya menembus sela-sela dedaunan, membentuk siluet yang menenangkan. Di antara pohon-pohon pinang yang menjulang tinggi di pinggir jalan, pandangan saya terpaku pada sesuatu yang menggantung di atas sana — sarang-sarang burung tempua, atau dikenal juga dengan nama burung manyar.Sarang-sarang itu tergantung di ujung ranting, berayun pelan diterpa angin pagi. Bentuknya unik, seperti kantung kecil yang dianyam rapi. Tak banyak orang yang memperhatikannya, tapi pagi itu, ia seperti memanggil untuk direnungkan.
Burung tempua adalah simbol kerja keras tanpa banyak bicara. Sang jantan adalah pembangun ulung yang menganyam sarang dari daun kering, serat rumput, bahkan potongan plastik yang dijumpainya. Semuanya dilakukan dengan paruh dan kakinya yang mungil — tanpa bantuan, tanpa lelah.
Spiritual: Menjalani Peran Tanpa Protes
Burung tempua mengajarkan makna spiritual yang dalam. Ia bekerja tanpa pamrih, tanpa imbalan, semata-mata karena naluri dan tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan. Ia tidak menuntut balasan, namun tetap berusaha memberikan yang terbaik. Bukankah ini wujud keikhlasan dalam bentuk paling sederhana?
Etika Kerja: Ketekunan dan Kualitas
Proses membangun sarang tidak singkat. Jika hasilnya belum layak, sang betina akan menolak, dan si jantan pun memulai dari awal. Ia tidak menyerah, tidak mengeluh, hanya terus bekerja hingga tercipta sarang yang kuat, indah, dan aman.
Dari sini kita belajar bahwa kualitas lahir dari ketekunan. Etika kerja bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi bagaimana menyelesaikannya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Sosial: Sarang sebagai Simbol Kasih dan Tanggung Jawab
Sarang bagi burung tempua bukan sekadar tempat tinggal — ia adalah janji, perlindungan, dan awal kehidupan baru. Sang jantan membangunnya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk pasangan dan calon anak-anaknya. Ini adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial yang luar biasa dari seekor burung kecil.
Pemandangan sederhana ini — sarang yang tergantung di pucuk pinang — membawa pesan yang besar. Di tengah hiruk-pikuk hidup modern, seekor burung kecil mengingatkan manusia akan nilai-nilai dasar yang kadang terlupakan: kerja keras, keikhlasan, dan cinta yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
🕊️ Pelajaran dari Burung Tempua
🌱 1. Hikmah Spiritual: Ikhlas dan Tunduk pada Fitrah
Burung tempua tidak banyak bicara, tidak pula berkeluh kesah. Ia membangun dengan sabar, mengikuti naluri yang telah ditanamkan oleh Sang Pencipta. Dari sinilah kita belajar arti ikhlas: bekerja karena itu adalah bagian dari peran hidup, bukan semata karena imbalan.
🔧 2. Etos Kerja: Ketekunan Melahirkan Kualitas
Sarang yang indah tidak tercipta dalam sekali usaha. Jika tidak layak, ia dibongkar dan dibangun kembali. Berulang kali. Tanpa lelah. Proses ini mengajarkan kita bahwa keberhasilan adalah hasil dari kerja keras yang konsisten, bukan instan.
🫂 3. Tanggung Jawab Sosial: Membangun Bukan untuk Diri Sendiri
Burung jantan membangun sarang sebagai bentuk kesiapan berkeluarga. Ia mempersiapkan tempat yang aman bagi pasangan dan anak-anaknya. Inilah makna tanggung jawab — membangun untuk kepentingan bersama, bukan hanya diri sendiri.
💡 Pesan untuk Kita
“Kadang, pelajaran terbesar datang dari makhluk yang paling kecil. Kita hanya perlu hati yang mau melihat dan jiwa yang mau mendengar.”
— Refleksi Pagi di Padang
Pagi itu, di bawah langit Padang yang cerah, saya merasa sedang belajar dari guru yang berbeda — seekor tempua kecil, yang menenun hikmah melalui helai-helai sarangnya.