![_c458fee5-b710-4b13-8213-f024fdc92a0e](https://ephi.web.id/wp-content/uploads/2025/02/c458fee5-b710-4b13-8213-f024fdc92a0e-678x381.jpg)
Fajar di Desa Rimba Asri
Fajar baru saja merekah di ufuk timur, mewarnai langit dengan semburat jingga yang perlahan-lahan menyatu dengan birunya pagi. Embun masih menggantung di ujung-ujung daun, membiaskan cahaya matahari pertama yang menyapa lembut. Angin pagi berembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan harum bunga kopi yang sedang bermekaran. Di kejauhan, suara kokok ayam jantan bersahutan, seolah membangunkan desa kecil yang masih terlelap dalam mimpi.
Sawah yang membentang luas di pinggiran desa mulai menampakkan keindahannya. Hamparan padi hijau bergoyang pelan ditiup angin, menciptakan riak lembut seperti gelombang lautan. Burung-burung pipit beterbangan rendah, sesekali hinggap di batang padi yang mulai menguning. Para petani berjalan perlahan dengan cangkul di pundak, sesekali menyapa satu sama lain dengan senyum hangat yang sudah menjadi kebiasaan. Di pematang sawah, anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, tertawa riang saat kaki mereka menyentuh tanah yang masih dingin.
Di tengah desa, deretan rumah-rumah kayu dengan dinding anyaman bambu berdiri rapi, masing-masing memiliki pekarangan kecil yang dipenuhi tanaman hias dan pohon buah. Aroma wangi dari dapur-dapur rumah mulai menyebar, bercampur dengan asap kayu bakar yang mengepul tipis di udara. Di depan rumah, para ibu duduk di bangku kayu, sibuk menyiangi sayuran segar hasil kebun mereka, sementara para kakek duduk santai menikmati segelas kopi hitam panas yang mengepul.
Sungai kecil yang mengalir di pinggir desa mulai ramai oleh aktivitas pagi. Beberapa warga membasuh muka dengan air jernih yang mengalir tenang, sementara anak-anak lelaki sibuk bermain lempar batu di tepian. Pepohonan rindang yang tumbuh di sepanjang sungai bergoyang perlahan, dedaunan jatuh perlahan ke permukaan air, hanyut terbawa arus yang mengalir tenang. Ikan-ikan kecil terlihat berenang di antara bebatuan, sesekali melompat seolah menikmati pagi yang cerah.
Saat matahari semakin meninggi, desa Rimba Asri pun mulai hidup dengan kesibukannya sendiri. Derap langkah sapi dan kerbau terdengar di jalan tanah menuju ladang, suara-suara riuh di pasar kecil mulai menggema, dan aroma segar dari kue-kue tradisional yang baru matang menguar dari warung-warung sederhana di tepi jalan. Hari baru telah dimulai, membawa janji kehangatan dan kehidupan yang damai di desa yang tak pernah kehilangan pesonanya.
Saat matahari semakin meninggi, desa Rimba Asri pun mulai hidup dengan kesibukannya sendiri. Derap langkah sapi dan kerbau terdengar di jalan tanah menuju ladang, suara-suara riuh di pasar kecil mulai menggema, dan aroma segar dari kue-kue tradisional yang baru matang menguar dari warung-warung sederhana di tepi jalan. Hari baru telah dimulai, membawa janji kehangatan dan kehidupan yang damai di desa yang tak pernah kehilangan pesonanya.
Pagi yang Menyapa di Desa Sukamaju
Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur, mengirimkan semburat jingga keemasan yang perlahan mengusir sisa-sisa kelam malam. Kabut tipis masih menggantung di atas hamparan sawah yang luas, mengelus lembut batang-batang padi yang berayun pelan diterpa angin pagi. Suara gemericik air dari irigasi kecil di tepi pematang berpadu dengan kicauan burung-burung pipit yang mulai sibuk mencari makan. Udara pagi terasa segar, membawa aroma tanah yang masih basah oleh embun serta wangi bunga kamboja yang mekar di pekarangan rumah-rumah penduduk.
Di kejauhan, kokok ayam jantan bersahut-sahutan, seolah membangunkan desa dari tidurnya. Asap tipis mengepul dari cerobong dapur rumah-rumah kayu, pertanda ibu-ibu sudah mulai memasak sarapan untuk keluarga. Aroma nasi hangat bercampur wangi ikan asin yang dipanggang di atas tungku kayu tercium hingga ke jalanan desa yang masih sepi. Sesekali, terdengar suara pintu kayu berderit dibuka, disusul langkah-langkah ringan menuju sumur di halaman belakang, tempat para ibu menimba air dengan timba logam yang berbunyi nyaring saat bersentuhan dengan permukaan air.
Di tepi jalan desa yang masih beralaskan tanah, beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, tertawa riang sambil menggiring bola rotan buatan tangan ayah mereka. Seorang lelaki tua duduk di balai-balai bambu depan rumahnya, menyeruput kopi hitam yang mengepul dari cangkir tanah liat, matanya menatap sawah yang mulai diterangi mentari pagi. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati kedamaian yang selalu dirindukan oleh mereka yang pernah meninggalkan desa ini.
Sungai kecil yang mengalir di sisi desa memantulkan cahaya matahari yang mulai meninggi. Beberapa ibu-ibu sudah berkumpul di pinggirannya, mencuci pakaian sambil bercakap-cakap riang tentang rencana panen yang semakin dekat. Tak jauh dari sana, seorang petani tua dengan caping lebar menuntun kerbaunya ke sawah, membiarkannya berendam sejenak di air sebelum memulai pekerjaan hari ini. Derap langkahnya berpadu dengan suara jangkrik yang masih terdengar samar dari balik rerumputan liar.
Di sudut desa, sebuah warung kecil mulai dibuka. Meja kayu sederhana sudah disusun dengan rapi, siap menyambut para petani yang sebentar lagi akan datang untuk sekadar menyeruput teh hangat atau menikmati gorengan hangat sebelum mereka mulai bekerja di ladang. Kehidupan di desa Sukamaju telah dimulai—dengan ketenangan, kesederhanaan, dan kebahagiaan yang tak tergantikan oleh hiruk-pikuk kota.
Suasana Pagi di Desa Asri
Pagi itu, sinar matahari perlahan menyusup melalui celah-celah dedaunan, menciptakan permainan cahaya yang menari di atas permukaan tanah. Suara kokok ayam yang berirama, disertai dengan kicauan burung yang ceria, mengisi udara segar desa yang asri. Embun masih menempel di ujung daun, berkilau seperti permata kecil yang menghiasi taman-taman rumah penduduk. Di kejauhan, terlihat pegunungan yang menjulang tinggi, diselimuti kabut tipis, seolah-olah menjaga rahasia alam yang belum terungkap.
Embun pagi menyelimuti sawah hijau yang membentang luas, dengan butiran air berkilauan bagaikan permata tersebar di atas helai-helai rumput. Matahari mulai memancarkan sinarnya dari balik perbukitan, mengusir kegelapan dan membangunkan kehidupan desa yang tenang.
Suara ayam jantan pertama kali membelah sunyi, diikuti gemerisik daun-daun pisang yang bergoyang lembut oleh hembusan angin pagi. Di sepanjang pematang sawah, petani sudah mulai bergerak, menenteng cangkul dan keranjang, bersiap memulai aktivitas rutinnya mengolah tanah yang subur.
Asap tipis mengepul dari cerobong rumah-rumah panggung yang tersebar di antara rumpun bambu dan pohon kelapa. Aroma kayu bakar bercampur dengan bau tanah basah dan kopi yang baru diseduh, menciptakan sensasi yang menenangkan bagi siapa pun yang mengendusnya.
Anak-anak kecil mulai berlarian di antara rumah, sekelompok kecil yang riang dengan seragam sekolah warna-warni, tertawa dan saling mendahului menuju bangunan sekolah sederhana di ujung desa. Mereka melewati kebun sayur yang rapi, dengan tanaman tomat dan cabai yang mulai merona hijau.
Di sudut desa, seorang nenek tua duduk di beranda rumahnya, menganyam tikar dengan jari-jari yang telah bertahun-tahun menggeluti kerajinan tradisional. Pandangannya menerawang ke hamparan hijau, menyaksikan desa yang hidup dan bergerak, sebuah lukisan kehidupan yang tak terkalahkan oleh kemajuan dan waktu.
Leave a Reply