
Padang, 24 Juni 2025 — Di tengah meningkatnya kebutuhan akan pengakuan internasional bagi publikasi ilmiah, jurnal-jurnal di Indonesia kini semakin giat berupaya menembus indeks Scopus, salah satu basis data sitasi ilmiah paling bereputasi di dunia. Namun, proses seleksi yang ketat dan berbasis kriteria kualitas membuat tak semua jurnal mampu menembus pintu seleksi. Untuk itu, memahami panduan resmi dari Scopus menjadi hal yang sangat penting.
Scopus, yang dikelola oleh Elsevier, tidak hanya menjadi indeksasi bergengsi, tetapi juga simbol kualitas dan visibilitas global sebuah jurnal. Masuknya sebuah jurnal ke dalam Scopus dapat membuka peluang kolaborasi internasional, meningkatkan sitasi, dan memperluas jangkauan pembacanya di seluruh dunia.
Menurut dokumen resmi yang dirilis oleh Elsevier bertajuk Scopus Journal FAQs, terdapat sejumlah tahapan dan kriteria ketat yang harus dipenuhi oleh pengelola jurnal sebelum mengajukan indeksasi. Proses ini terbagi dalam dua tahap besar: evaluasi pra-pengajuan dan evaluasi oleh Dewan Peninjau Konten dan Seleksi (Content Selection and Advisory Board/CSAB).
Sebelum melakukan pengajuan, pengelola jurnal harus memastikan bahwa jurnal mereka telah memenuhi minimum criteria. Beberapa di antaranya adalah penerapan proses peer-review yang sah, memiliki ISSN resmi, memuat judul dan abstrak artikel dalam bahasa Inggris, serta menyediakan pernyataan etika publikasi yang terbuka bagi publik.
Scopus juga menekankan pentingnya struktur editorial yang berstandar internasional. Jurnal dengan dewan redaksi yang berasal dari satu negara, tanpa kontribusi signifikan dari akademisi luar negeri, berpotensi ditolak. “Tidak cukup hanya menambahkan kata ‘International’ di judul jurnal. Komitmen internasional harus terlihat dari keanggotaan editor, penulis, hingga cakupan artikel,” demikian salah satu poin dari dokumen resmi tersebut.
Website jurnal menjadi salah satu aspek penting yang dinilai oleh tim CSAB. Situs yang tidak lengkap, tidak berbahasa Inggris, atau tidak menampilkan informasi editorial yang memadai akan menurunkan kemungkinan diterima. “Website adalah wajah jurnal. Di era digital, aspek visual dan navigasi yang profesional mencerminkan keseriusan penerbit,” tulis Elsevier dalam dokumen panduan.
Tidak hanya soal tampilan, konten website juga harus memuat panduan penulis, alur peer-review, rincian etika publikasi, dan struktur biaya publikasi jika berlaku. Website yang tidak diperbarui secara berkala atau memiliki tautan rusak juga akan dinilai sebagai indikasi kelemahan pengelolaan.
Scopus juga mewajibkan bahwa judul artikel dan abstrak ditulis dalam bahasa Inggris agar dapat diakses oleh komunitas ilmiah internasional. Meski demikian, naskah penuh dapat tetap berbahasa lokal, asalkan elemen kunci tersebut tersedia dalam bahasa Inggris.
Dalam proses seleksi, CSAB mengevaluasi jurnal berdasarkan lima kategori utama: kebijakan editorial, kualitas konten, reputasi jurnal, konsistensi penerbitan, dan ketersediaan daring. Penilaian ini dilakukan oleh para ahli independen dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam CSAB.
Jika jurnal ditolak, pihak Scopus akan memberikan umpan balik disertai masa embargo, yaitu waktu minimum sebelum jurnal dapat mengajukan kembali. Masa embargo bisa berkisar dari enam bulan hingga beberapa tahun, tergantung tingkat perbaikan yang dibutuhkan.
Scopus juga menegaskan bahwa jurnal yang telah terindeks tetap dapat dikeluarkan jika kualitasnya menurun atau terbukti melakukan pelanggaran etik. Oleh karena itu, pengelolaan berkelanjutan dan pemantauan kualitas menjadi kunci utama agar tetap bertahan dalam basis data tersebut.
Editor jurnal memainkan peran penting dalam memastikan kualitas tetap terjaga. Komunikasi aktif dengan tim editorial, penyegaran informasi reviewer dan penulis, serta promosi jurnal secara aktif ke komunitas ilmiah merupakan strategi penting yang direkomendasikan.
Apabila jurnal ditolak dan terdapat dugaan kesalahan faktual dalam proses evaluasi, pengelola berhak mengajukan banding melalui prosedur resmi. Namun, banding hanya dapat diajukan dalam waktu enam minggu setelah surat penolakan diterima, dan hasil banding bersifat final.
“Informasi seperti ini harus lebih sering disosialisasikan agar para pengelola jurnal di Indonesia tidak lagi sekadar coba-coba, tapi benar-benar siap dan kompeten sejak awal,” ujar Dr. Yuhefizar, Editor in Chief Jurnal RESTI yang telah terindeks Scopus.
Dengan memahami panduan ini secara utuh, diharapkan lebih banyak jurnal dari Indonesia yang dapat menembus indeksasi Scopus dan membawa nama baik institusi serta bangsa ke panggung ilmiah global.