
Tragedi berdarah 18 Januari 1947 di Pasar Bandar Buat, Padang, meninggalkan luka sejarah yang dalam. Namun, dari tempat yang sama, tumbuh semangat berbagi yang menyejukkan hingga hari ini. Sebuah gerakan sosial lahir, tak dari gedung kementerian, bukan pula dari lembaga besar — tetapi dari sebuah pasar rakyat.
Oleh: Yuhefizar
PADANG — Hiruk pikuk aktivitas pagi di Pasar Bandar Buat seakan tak pernah henti. Terik matahari dan semerbak aroma bumbu dapur bercampur di udara. Pedagang menawarkan dagangan, pembeli lalu-lalang dengan langkah terburu-buru. Tapi di balik riuh pasar yang ramai ini, tersimpan sebuah kisah kelam yang menjadi saksi kekejaman sejarah.
Pada 18 Januari 1947, Pasar Bandar Buat menjadi sasaran serangan udara pasukan Belanda. Saat itu, rakyat Lubuk Kilangan baru saja mengibarkan bendera merah putih di Kantor Camat sebagai simbol perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tindakan heroik itu memancing amarah Belanda yang merespons dengan kekerasan.
Pagi itu, pasar yang sedang ramai diserang pesawat tempur. Rentetan peluru dimuntahkan ke kerumunan warga. Sekitar 50 orang tewas, puluhan luka-luka. Kios-kios hancur, darah menggenang di tanah, dan jerit tangis membahana. Tragedi ini menjadi salah satu peristiwa paling memilukan di masa awal kemerdekaan Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah Monumen Pasar Banda Buek. Tiga patung manusia berdiri kokoh di atas tugu: satu menunduk dalam duka, satu menatap ke langit penuh tanya, dan satu lagi menatap ke depan dengan semangat. Monumen ini menjadi saksi bisu pengorbanan rakyat demi tanah air tercinta.
Namun, sejarah kelam itu tidak membuat warga Lubuk Kilangan larut dalam duka. Mereka memilih menyalakan cahaya harapan dari tempat yang sama. Di pasar inilah kini tumbuh gerakan sosial yang menginspirasi: Program Jum’at Barokah.
Program ini dimulai pada Agustus 2021. Setiap hari Jumat, para pedagang menyisihkan sebagian dari reski mereka untuk membeli dan membagikan sembako. Paket berisi beras, minyak, telur, gula, dan kebutuhan pokok lainnya disiapkan dan dibagikan kepada warga kurang mampu.
Uniknya, bantuan dikumpulkan dari para pedagang sendiri dan donatur. Tim Jumat Barokah mengunjungi lapak-lapak pada pagi hari untuk mengumpulkan donasi berupa uang, sembako, atau bahkan barang dagangan. Setelah sholat Jumat, donasi dikemas dalam bentuk paket-paket dan mulai disalurkan dari sore hingga malam hari.
“Tidak banyak, tapi kami yakin bisa membantu. Setiap orang bisa berbagi, asal ada niat,” ujar salah satu penggagas program.
“Paket dikumpulkan pagi hari Jumat, dikemas siang hari, dan sore hingga malam harinya diantar langsung ke rumah warga yang telah didata” ujar salah seorang tim. Sampai Februari 2025, lebih dari 1.300an paket telah dibagikan. Penerimanya saudara-saudara yang kurang mampu.
Apa yang membuat program ini istimewa adalah keikhlasannya. Tidak ada lembaga besar di baliknya, tidak pula sponsor atau dukungan politik. Semuanya lahir dari rasa syukur dan semangat kebersamaan para pedagang yang sehari-hari berjuang mencari nafkah di pasar.
Dari keberhasilan ini, lahir pula Program Berbagi dengan Sesama, yang menyasar bantuan jangka panjang. Mulai dari biaya pendidikan anak yatim, pengobatan warga sakit, hingga renovasi rumah warga kurang mampu. Program ini menunjukkan bahwa pasar bukan hanya tempat jual beli, tetapi juga tempat tumbuhnya solidaritas sosial.
Pasar Bandar Buat kini bukan hanya simbol ekonomi masyarakat Lubuk Kilangan, tapi juga lambang keberpihakan pada sesama. Dari tempat yang dulu menjadi ladang pembantaian, kini tumbuh nilai kemanusiaan yang menyala.
Gerakan sosial ini pun patut diapresiasi sebagai salah satu—atau mungkin satu-satunya—program sosial berbasis pasar yang tumbuh secara mandiri dari akar rumput. Tidak mengandalkan proposal ke instansi, tetapi hanya mengandalkan empati.
Semangat Jumat Barokah dan Berbagi dengan Sesama layak dijadikan contoh oleh pasar-pasar lain di seluruh Indonesia. Bayangkan jika setiap pasar tradisional memiliki program sosial serupa: bantuan bisa menjangkau hingga ke lorong-lorong permukiman miskin, anak-anak bisa tetap sekolah, dan warga lansia tidak lagi sendiri dalam sakit dan lapar.
Program ini juga mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan ekstrem dan persoalan sosial lain di tingkat lokal. Tanpa anggaran negara, tanpa birokrasi berbelit. Hanya dengan gotong royong dan rasa kemanusiaan.
Pasar Bandar Buat kini bukan hanya simbol ekonomi masyarakat Lubuk Kilangan, tapi juga lambang keberpihakan pada sesama. Dari tempat yang dulu menjadi ladang pembantaian, kini tumbuh nilai kemanusiaan yang menyala.
Program ini telah menciptakan ekosistem sosial yang unik: di mana setiap transaksi dagang bisa bernilai ibadah, dan setiap sen keuntungan bisa menjadi alat untuk menebar kebaikan. Tidak ada sponsor besar, tidak pula sorotan media nasional — hanya keikhlasan dan semangat gotong royong yang menggerakkan.
Pasar Bandar Buat pun kini menjelma menjadi ruang yang bukan hanya ekonomis, tetapi juga emosional dan spiritual. Di tempat yang dulu dibasahi darah perjuangan, kini mengalir aliran kebaikan yang tidak putus. Dari luka, tumbuh cinta. Dari deru peluru, lahir deru kemanusiaan.
Sejarah memang tak bisa dihapus. Tapi dari luka yang dalam, masyarakat Bandar Buat memilih tumbuh dan memberi. Deru peluru masa lalu kini telah berganti menjadi deru kepedulian yang mengalir setiap Jumat—menjadi jembatan kebaikan dari pasar, untuk Indonesia.
Mari dukung gerakan ini, bergabung menjadi donatur (Dapat disalurkan melalui Bank BRI: No rekening: 546401041624539, a.n. Jumat Barokah Pedagang Pasar Bandar Bua), menjadi relawan, atau sekadar membantu menyebarkan informasi. Satu langkah kecil kita bisa menjadi harapan besar bagi orang lain. Karena di Pasar Bandar Buat, berbagi tak pernah rugi.
Bandar Buat, Sabtu, 12 April 2025
Leave a Reply